Bukan lautan hanya kolam susu
Kail dan jala cukup menghidupimu
Tiada badai tiada topan kau temui
Ikan dan udang meanghampiri dirimu
Orang bilang tanah kita tanah surga
Tongkat kayu dan batu jadi tanaman
Orang bilang tanah kita tanah surga
Tongkat kayu dan batu jadi tanaman
Dua bait lagu "Kolam Susu" yang dipopulerkan oleh Koes Plus di atas sungguh ironis jika kita terapkan pada masa kini. Betapa tidak? Masih banyak saudara kita yang tidak merasakan gemah ripah lo jinawi-nya negeri jamrud katulistiwa ini. Masih teramat banyak saudara kita yang tidak ikut merasaan Tenggara Timur dan di Bulukumba Sulawesi Utara adalah dua daerah di antara sekian banyak daerah di Indonesia yang mengalami nasib tersebut. Memang sangat ironis mengiingat negeri ini pada tahun 80-an pernah mengalami swasembada beras.
Yang membuat hati kita lebih teriris adalah nasib para balita. Mereka seharusnya mendapatkan gizi yang baik karena mereka adalah generasi penerus bangsa ini. Namun, apa dapat mereka lakukan? Mereka hanya bisa pasrah dengan kondisi seperti itu. Tubuh kurus kering, perut buncit menjadi bagian dari keseharian mereka. Orang tua mereka juga tidak mempu berbuat apa - apa karena memang tidak mungkin memberikan gizi sesuai standar kesehatan. Jangankan gizi, untuk sekedar makan saja mereka tidak dapat memenuhinya. Tiada pilihan lain bagi keluarga itu dan banyak keluarga yang lain selain makan sisa - sisa nasi atau gaplek (ketela pohon yang dikeringkan) untuk sekedar mempertahankan kelangsungan hidup mereka.
Pemerintah seharusnya bertanggung jawab penuh kepada mereka. Pemerintah harus cepat tanggap kepada mereka. Pemerintah harus cep[at tanggap melihat kenyataan ini. Namun, apa yang terjadi? Pemerintah seakan - akan tidak peduli. Pemerintah "buta" terhadap masalah ini.
Ketika kebutuhan pangan sangat menipis, tragedi lain pun telah menghadang masyarakat. Krisis minyak tanah, kelangkaan gas dan melambunganya harga - harga kebutuhan pokok semakin menambah parahnya penderitaan warga. Dengan demikian, secara tidaak langsung akan semakin memperburuk tingkat ekonomi rakyat yang pada gilirannya tentu akan semakin memperbesar jumlah dan wilayah "bencana" kelaparan ini.
Sehubungan dengan hal tersebut diatas, kita sebagai warga yang peka terhadap lingkungan sekitar tentu harus mengambil sikap. Paling tidak, kita yang notabene sebagai warga yang beruntung, harus ikut secara aktif menyisihkan sebagian harta kita untuk membantu meringankan beban penderitaan saudara - saudara kita tersebut. Janganlah kita terlalu banyak berharap pada pemerintah yang sibuk mengurusi kepentingan mereka sendiri. Semoga Tuhan Yang Maha Pemurah segera memberikan jalan keluar agar bencana kelaparan ini segera berlalu dari negeri tercinta ini. Semoga segala usaha dan pengorbanan kita mendapatkan rodho-Nya. Amin.
Kail dan jala cukup menghidupimu
Tiada badai tiada topan kau temui
Ikan dan udang meanghampiri dirimu
Orang bilang tanah kita tanah surga
Tongkat kayu dan batu jadi tanaman
Orang bilang tanah kita tanah surga
Tongkat kayu dan batu jadi tanaman
Dua bait lagu "Kolam Susu" yang dipopulerkan oleh Koes Plus di atas sungguh ironis jika kita terapkan pada masa kini. Betapa tidak? Masih banyak saudara kita yang tidak merasakan gemah ripah lo jinawi-nya negeri jamrud katulistiwa ini. Masih teramat banyak saudara kita yang tidak ikut merasaan Tenggara Timur dan di Bulukumba Sulawesi Utara adalah dua daerah di antara sekian banyak daerah di Indonesia yang mengalami nasib tersebut. Memang sangat ironis mengiingat negeri ini pada tahun 80-an pernah mengalami swasembada beras.
Yang membuat hati kita lebih teriris adalah nasib para balita. Mereka seharusnya mendapatkan gizi yang baik karena mereka adalah generasi penerus bangsa ini. Namun, apa dapat mereka lakukan? Mereka hanya bisa pasrah dengan kondisi seperti itu. Tubuh kurus kering, perut buncit menjadi bagian dari keseharian mereka. Orang tua mereka juga tidak mempu berbuat apa - apa karena memang tidak mungkin memberikan gizi sesuai standar kesehatan. Jangankan gizi, untuk sekedar makan saja mereka tidak dapat memenuhinya. Tiada pilihan lain bagi keluarga itu dan banyak keluarga yang lain selain makan sisa - sisa nasi atau gaplek (ketela pohon yang dikeringkan) untuk sekedar mempertahankan kelangsungan hidup mereka.
Pemerintah seharusnya bertanggung jawab penuh kepada mereka. Pemerintah harus cepat tanggap kepada mereka. Pemerintah harus cep[at tanggap melihat kenyataan ini. Namun, apa yang terjadi? Pemerintah seakan - akan tidak peduli. Pemerintah "buta" terhadap masalah ini.
Ketika kebutuhan pangan sangat menipis, tragedi lain pun telah menghadang masyarakat. Krisis minyak tanah, kelangkaan gas dan melambunganya harga - harga kebutuhan pokok semakin menambah parahnya penderitaan warga. Dengan demikian, secara tidaak langsung akan semakin memperburuk tingkat ekonomi rakyat yang pada gilirannya tentu akan semakin memperbesar jumlah dan wilayah "bencana" kelaparan ini.
Sehubungan dengan hal tersebut diatas, kita sebagai warga yang peka terhadap lingkungan sekitar tentu harus mengambil sikap. Paling tidak, kita yang notabene sebagai warga yang beruntung, harus ikut secara aktif menyisihkan sebagian harta kita untuk membantu meringankan beban penderitaan saudara - saudara kita tersebut. Janganlah kita terlalu banyak berharap pada pemerintah yang sibuk mengurusi kepentingan mereka sendiri. Semoga Tuhan Yang Maha Pemurah segera memberikan jalan keluar agar bencana kelaparan ini segera berlalu dari negeri tercinta ini. Semoga segala usaha dan pengorbanan kita mendapatkan rodho-Nya. Amin.